Review film COCO

COCO

Coco
Mucas Gracias

Hati-hati ada spoiler 😀

Cerita bermula dari sudut pandang seorang anak laki-laki bernama Miguel, keturunan seorang musisi Mexico terkenal Ernesto de La Cruz.

Sang Nenek Mama Coco merupakan anak dari Ernesto de La Cruz.

Setting di alam arwah tempat orang yang sudah meninggal. Setiap orang yang fotonya dipasang pada Ofrenda akan bisa melintasi

Ofrenda: Tempat untuk menaruh foto orang yang sudah meninggal.

Mama Imelda istri dari Ernesto sangat membencinya pada awalnya.

Restu dari Ernesto sangat dibutuhkan Miguel untuk kembali ke Dunia nyata.

Satu-satunya peluang Miguel untuk bertemu Kakek buyutnya adalah dengan memenangkan kompetisi bernyanyi.

Plot twist: Ernesto meracuni temannya Hector yang juga musisi untuk mendapatkan lagu karangan temannya itu.

Ternyata Miguel adalah cicit dari ****!

Forgiven but not Forgotten or Forgotten but not Forgiven.

Ketika dilupakan di dunia maka hidup arwah akan habis di alam arwah.

 

Film keluarga dengan setting Mexico. Ringan musik scoringnya luar biasa membuat ingin bergoyang. Superb! bisa menang Oscar ini.

Review film COCO

Turkish Air City Tour

Pada kesempatan kali ini saya ingin mencerikatakan pengalaman naik Turkish Air. Namun bukan naik Turkish Airnya yang mengesankan tapi CITY TOURnya! 😀

Perjalanan kali ini menempuh waktu +-24 Jam!.

Berangkat dari Soetta jam 20.45 WIB semua berjalan sesuai rencana tanpa ada delay apapun. Walaupun pada saat CheckIn penimbangan agak overweight untuk kabin allowance namun bisa diselesaikan dengan baik setelah berdiskusi dengan pihak maskapai penerbangan :D.

Selain itu juga ada peraturan yang mewajibkan berat maksimum setiap koper maksimal 32kg.

Total berat barang yang dibawa kali ini mencapai 54 Kg!. Yang dibagi menjadi 2 Bagasi 40kg + Kabin 15kg. Turkish Air kali ini memang cukup banyak memberikan free baggage allowance sebesar 40Kg, hal ini cukup membantu untuk membawa basic life kit, untuk memulai hidup baru di negeri orang.

IMG_20170903_060811[1]
Para Pemuda Pemudi Harapan Bangsa 😀
Untuk Checked baggage total ada 2 Koper ukuran 20′ dan 24′ masing2 beratnya 20kg. Beberapa teman yang sama2 bareng dalam 1 flight ada yang mengalami kendala overweight hingga harus mengeluarkan barang2 milik mereka otherwise harus membayar kelebihan bagasi. Untuk perhitungan biaya excess bagagge ada formula tertentu yang diterapkan Turkish Air, mengikuti sistem region. Sebagai ilustrasi, Jakarta masuk region 5 dan saya akan terbang ke Budapest di region 2, maka kita dapat lihat dari tabel charge/kg di Turkish’s Excess Baggage Policy untuk kasus ini berarti perhitungannya adalah € 15 + € 5 = € 20 per kg via connecting region Turki, cukup mudah kan :D.

Yang menarik dari Turkish Air ini untuk kelas Rakjel seperti saya 😀 adalah selain free bagasi yang lebih besar 40kg dibandingkan Airline lain yang ke Eropa umumnya 32kg, adalah fasilitas Free City Tour untuk penumpang yang transit >= 6 Jam. Betapa senangnya bisa dapat Free City Tour keliling Istanbul dengan gratis :D, karena dari dulu udah pengen banget ke Blue Mosque, salah satu objek wisata favorit yang harus dikunjungi di Turki.

Jadi Flight kita transit di Turki selama +- 13 jam. Nah sebelum datang kita harus membuat eVisa dulu untuk dapat menikmati City Tour ini. Proses pembuatannya juga cukup mudah tinggal mengunjungi eVisa Turki . Setelah mengisi seluruh form dengan benar dan membayar biaya sebesar $25++ lalu eVisa akan segera dikirim ke alamat email kita.

Tiba di Turki pas setengah jam sebelum waktu sholat shubuh. Tunggu sebentar untuk mencari Musholla yang letaknya di pojok hall baggage claim, setelah keluar passport checking.

Di situ kita bisa menunggu dulu di Starbuck untuk mendapat WIFI gratisan :D, tinggal scan pakai boarding pass aja.

Di dekat Starbuck itu ada booth City Tour, ternyata disana sudah berkumpul turis yang juga mau daftar City Tour. Pas sudah dibuka jam 8.30 kita sudah bisa antri untuk menaruh Boarding Pass kita untuk pencatatan city tour, setelah itu kita tunggu hingga nama kita dipanggil untuk ikut rombongan City Tour.

Tepat jam 9.30 Petugas memanggil nama rombongan yang akan ikut city tour. Karena jumlahnya banyak sampai 80an orang maka rombongan dibagi menjadi beberapa kloter. nanti tiap kloter akan dipimpin oleh seorang Tour Guide.

Tibalah saatnya kita menjelajahi Istanbul, dari bandara kita akan diantar dengan Bus atau Van besar, kita bebas mau ikut yang mana. Sepanjang perjalanan akan diberikan briefing bahwa kita akan sarapan dulu di Restoran bernama Tamara, di dekat objek wisata terkenal di Istanbul Hagia Shopia atau disebut Aya Shopia.

Alhamdulillah pas perut udah keroncongan dapat sarapan gratis :D. Setelah sarapan selama kurang lebih 40 menit, akan diumumkan pembagian group tiap orang. Nama kita akan dipanggil oleh Group leader yang akan memandu kita selama di tempat wisata.

Untuk Tour ini jadwalnya ada di sini Tour istanbul silahkan pilih yang paling cocok waktunya, jangan sampai ketinggalan pesawat ya :D.

Objek wisata pertama yang yang dikunjungi adalah Masjid Sultan Ahmed. Biasanya saya kebolak balik antara masjid Sultan Ahmed dengan Blue Mosque. Baru kali ini tau dengan pasti bedanya dan merasakan sendiri kemegahannya.

IMG_20170903_114742[1]
Di Taman Menuju Hagia Shopia
IMG_20170903_111624[1]
Di dalam kompleks Masjid Sultan Ahmed
IMG_20170903_111457[1]
Selfie 😀
IMG_20170903_121908[1]
Di dalam Hagia Shopia
 

Yang paling berkesan tentu untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di masjid ini yang arsitekturnya megah dan khas peninggalan era kejayaan masa Ottoman. Di dalam Blue Mosque juga terlihat ornamen2 yang biasa ada didalam gereja, yang kemudian dialihfungsikan menjadi sebuah Masjid.

Akhirnya bisa juga kesampaian masuk ke dalam Blue Mosque satu Bucket List tercapai 😀

 

Turkish Air City Tour

Berjalan bersama-sama

“if you want to move fast go alone if you want to move far go together.”

Selama proses keberangkatan hingga tiba di negeri yang dikenal lewat film Surga Yang Tak Dirindukan, saya sangat terbantu dengan bantuan dari teman-teman PPI Hongaria. PPI Hongaria tahun ini dipimpin oleh Kak Yoga yang sangat baik, personally Yoga adalah orang yang membantu saya dari mulai segala macam persiapan keberangkatan, visa, akomodasi, dan berbagai macam urusan yang memang membingungkan dan membuat worry. Thanks Yog!

PPI Hongaria sudah ada sejak periode 2015/2016, mengingat Hongaria bukan menjadi salah satu tujuan destinasi pelajar Indonesia, tentu belum banyak mahasiswa yang berada di dalam PPI ini. Saat ini PPI Hongaria dipimpin oleh Bro Yoga, yang sekarang menjadi flatmates saya, beruntung saya bisa belajar banyak dari Yoga. Wakil ketua dijabat oleh Bro Fahmi, ada juga Cacha, Helmi di divisi SDM, selain itu ada juga Sarah, Raja, Diana, Oscar, Fahrozi, Kiki dan banyak lagi teman-teman PPI yang saya belum ketemu sampai seminggu ini saya berada di Hongaria.

Pertemuan kecil diadakan di Flat kami yang sedang untuk ukuran Budapest. Ruang tidur utama disulap menjadi tempat kumpul utama. Tempat tidur kami yang super multifungsi dialihfungsikan menjadi kursi santai. Dari siang kami pun sudah bersiap-siap untuk menyiapkan aneka makanan dan minuman untuk menyambut kedatangan teman-teman kami di Budapest.

Ini pertama kali buat saya merasakan atmosfir kebersamaan yang cukup kental di luar Indonesia. Istilahnya ngariung kalo kata orang sunda mah. Ya kumpul2 ala orang Indonesia memang begini adanya. Cowok-cowok penghuni flat dan anak-anak PPI semua gotong royong mempersiapkan acara. Mulai dari beres-beres tempat tidur merapikan main bedroom untuk  dijadikan tempat kumpul, hingga mempersiapkan masakan ala Indonesia seperti ayam goreng, sambal ulek yang dibikin dengan cara memasukkan cabe,bawang putih, bawang bombay, tomat dan perasa ke dalam panci yang kemudian dibejek2 hingga lumat menggunakan alat seadanya (garpu dan sendok), karena tidak ada blender dan ulekan :D, ada juga yang membuat salad buah yang cukup menggugah selera sebagai dessert. Buah-buahan lumayan cukup terjangkau harganya disini, ada anggur, plum, pear, apel, nanas yang semua dipotong kecil2 dan kemudian di campur dengan fla yang mempermanis rasa.

 

 

Ini sebuah hal yang baru buat saya setelah berapa lama tidak berinteraksi dengan dunia perkumpulan mahasiswa. Sebuah awal yang baik ^_^

Untuk bisa berjalan jauh selama 2 tahun kedepan dan seterusnya pasti akan banyak halang rintangan yang akan menghadang. Kehadiran teman-teman dan support system yang baik akan membantu saya mencapai tujuan akhir.

Mudah-mudahan kebersamaan ini tetap terjalin dengan baik.

Kőszőnőm

Purbo

Berjalan bersama-sama

Berada di sini

IMG_20170908_151531[1]
Di Heroes Square
Akhirnya setelah beberapa kali submit aplikasi beasiswa full dan mengalami beberapa kali penolakan, akhirnya dapat juga sponsor yang akan membiayai kuliah plus biaya hidup di negeri Magyar. Tidak menyangka juga akhirnya untuk pertama kali menginjakkan kaki di benua biru. Sebuah milestones tercapai, sebagai awal yang baik untuk mencapai milestones berikutnya.

Setiap orang pasti punya bucket list atau daftar panjang impian atau milestone yang ingin dicapai dalam perjalanan hidupnya. Life is a journey, enjoy the process and you’ll never regret it. Ya Alhamdulillah diberikan kesempatan dan amanah untuk bisa lanjut studi sekaligus jalan-jalan di benua biru.

Alasan utama ingin melanjutkan studi ke benua biru semakin kuat sejak menonton film 99 Cahaya di langit Eropa. Jujur sejak saat itu semakin bertambah motivasi untuk melanjutkan studi di Benua Biru, penyemangat lain adalah keinginan kuat untuk kembali menjadi mahasiswa. Ya menjadi mahasiswa merupakan privilege yang menurutku sangat spesial. Yang pasti seperti diskon harga khusus untuk student, dan kesempatan untuk traveling keliling Eropa dengan residence permit, mudah-mudahan akan menjadi pengalaman yang memperkaya jiwa dan wawasan.

Traveling will feed your soul.

Selama ini kesempatan untuk traveling keluar negeri hanya untuk tujuan bisnis, disponsori kantor. Tentu akan ada perbedaan yang cukup signifikan antara student traveler dan business traveler kedua tipe traveler ini. Diantaranya tentu budget dan privilege lain yang berbeda antara yang satu dan yang lain.

Business Travel mengharuskan saya untuk mengikuti rule yang sudah ditentukan perusahaan, mulai dari pre departure sampai post departure, semua harus terencana dengan baik dan tersubmit di sistem dengan proper. Yang menyenangkan tentu budget yang OK dan akomodasi yang wah, all paid by ourlovely company dan prosesnya dibantu dengan teman-teman dan staf kantor yang sangat membantu kita. Bagaimana dengan student traveler, tentu segala sesuatu harus dikerjakan sendiri self service, mulai dari pengurusan dokumen keberangkatan, Visa, akomodasi dan banyak hal lainnya, menuntut kita untuk lebih proaktif dan responsif terhadap segala hal yang diperlukan untuk mempermudah proses keberangkatan dan settlement kita di negara tujuan.

Tentu there is always two sides of a story, selalu ada dua sisi mata uang, begitu pula cerita tentang sesuatu, selalu ada plus dan minus dari sebuah pengalaman.

Bagaimana kehidupan 2 tahun kedepan? 😀

Tunggu postingan2 selanjutnya…

 

 

 

 

 

Berada di sini

“Enlightenment is man’s emergence from his self-imposed immaturity. Immaturity is the inability to use one’s understanding without guidance from another.” ~ IK #pathdaily

View on Path

88 tuts keyboard yang membahagiakan

Beberapa hari yang lalu seperti biasa dalam perjalanan commuting dengan bis kesayangan, tiba-tiba aja kepikiran tentang efek belajar piano klasik pada seseorang. Kebetulan aja muncul artikel di majalah dinding kantor tentang sekumpulan pianist yang bekerja di kantor pusat yang membentuk sebuah klub piano!

Para staf ini berasal dari berbagai macam profesi, ada engineer, GA, Marketing, dll. Satu hal yang pasti dari video yang ditampilkan mereka memainkan karya Franz Liszt, John Schmidt, Frederic Chopin, Ludwig van Beethoven dengan sangat apik dan mengagumkan.

Menarik untuk dikulik dari mana asal ketertarikan mereka ke piano klasik?, sejak kapan mereka belajar alat musik ini?, mengapa mereka mau mempelajari alat musik ini? Dan tentu apa manfaat mempelajari alat musik ini buat mereka?

Kemampuan bermain piano dan passion untuk bermain instrumen ini tentu tidak dimiliki semua orang. Apa yang dilakukan orang-orang ini dalam klub?, dari cerita mereka terungkap. Mereka biasa melakukan berbagai kegiatan reguler seperti belajar dan recital musik, anggotanya perform seminggu dua kali, di panggung kantor. Walaupun waktu mereka untuk berlatih piano hanya pada saat makan siang dan setelah jam kerja, mereka sanggup menghadirkan reportoar yang mengagumkan dengan cara berlatih rehearsal sedikit demi sedikit.

Seorang anggota yang memainkan karya Un Sospiro – Franz Listz dengan apik, mengatakan dia belajar piano hingga SMP/SMA, dan sangat menyenangi bermain piano hingga sempat kepikiran untuk apply ke sekoal musik di perguruan tinggi, namun tidak kesampaian, sempat menyerah pada mimpinya, ia tetap berlatih dan meningkatkan cara bermainnya.

Cerita lain datang dari staff lain yang memang hobinya bermain piano, masuk klub di kantor. Apa yang ia rasakan bahwa, pekerjaannya menuntut ia untuk berpikir rasional dan kalkulatif, namun ketika ia bermain piano, ia merasa seperti mengikuti kata hatinya, hal itu membahagiakannya. Mengunjungi klub dan bermain piano setelah seharian bekerja merupakan stress reliever buatnya dan semacam pelarian yang menyenangkan.

Ada lagi cerita anggota klub yang belajar piano setelah join klub. Tidak bisa baca not balok, namun sekarang dia sudah bisa memainkan karya All of Me – Jon Schmidt dengan sangat mengagumkan, pada acara recital di kantor. Untuk perform dia bilang dia berlatih 3 jam per hari selama 2 bulan, lagu ini tingkat kesulitannnya agak tinggi karena membutuhkan untujk memainkan beberapa not dengan sikunya dan rythmnya kompleks dan tingkat kesulitannya tinggi.

Cerita anggota yang lain, seorang engineer bilang, sangat sulit untuk membuat suara yang bagus menggunakan alat instrumen manapun, namun piano ini berbeda, sangat mudah, IMHO. Namun semakin mempelajarinya dia semakin tertantang untuk memainkan lagu yang lebih sulit. Pada awalnya, ia hanya mendengarkan musik, namun setelah belajar cara bermain piano, ia merasa tertantang untuk menguasai dan menyelesaikan sebuah lagu dengan piano. Walaupun membutuhkan waktu yang agak lama, ketika berhasil menyelesaikan sebuah lagu, ia merasakan sebuah pencapaian yang berarti untuk dirinya.

Ada cerita pianist engineer lainnnya, ia suka memainkan musik klasik, selain itu, ia menyukai fakta bahwa walaupun alat musik ini diciptakan ribuan tahun yang lalu, tune yang dihasilkan tidak pernah tua. Suara yang dihasilkan berbeda-beda tergantung orang yang memainkannnya. Setelah bergabung ke dalam klub ia tak menyangka banyak juga orang sepertinya yang suka bermain piano, dan hal itu yang menyatukan mereka.

Cerita lain dari orang marketing, ia belajar piano selama 10 tahun ketika ia masih kecil. Ia merasa, dirinya menjadi semakin kaya rasa ketika bermain piano. Di masa datang dia berniat untuk masuk ke perguruan tinggi musik dan belajar piano secara profesional. Dia berharap kalau teman2nya di kantor bisa mengerti ketertarikannya pada piano yang menurutnya dapat membahagiakan jiawanya.

Ada tips yang disampaikan oleh sorang member untuk para pemula. Dia bilang ketika, kamu bermain piano untuk pertama kalinya, hal yang penting untuk diperhatikan adalah untuk mendengarkan musik sebanyak-banyaknya, mulailah dari piece yang mudah. Karena jika kita mulai dari piece yang susah, akan membuat kita jadi malas atau kurang tertarik lagi untuk mempelajarinya, jadi menurutnya belajarnya dengan cara step by step. Ketika bermain piano menurutnya kita akan merasakan pengalaman yang berbeda seakan-akan dunia musik berkolaborasi satu sama lain. Dia sangat berharap banyak orang yang tertarik bergabung ke klubnya.

Dari pengalaman dan cerita staff2 ini, anggotanya bergabung karena rasa ketertarikan mereka akan piano, dan setelah proses latihan yang rutin, mereka mampu meningkatkan skill mereka sehingga mereka mampu memainkan perform reguler di luar kantor. Bahkan setelah dua tahun berjalan mereka bisa membeli 3 piano lagi.

Sebuah pengalaman yang menyenangkan, bermain piano bisa menjadi stress reliever, great escape, mengasah rasa, dan mungkin banyak hal positif lain yang bisa didapat, bagaimana dengan kamu?

#morningstory #pianist

View on Path

Privilege

Yes, we are privileged.

We are privileged when it comes to possession of knowledge.

We are privileged when it comes to possession of money.

We are privileged when it comes to possession of facilities.

Yes, it’s definitely our RIGHT to be in possession of all of it.

But at the same time, I feel like it’s our DUTY to share a little bit of our priced possession with the less privileged through whatever small means possible by all of us.

View on Path

Usahaku

Sabtu.
Hari terasa berjalan lamban.
Teringat pengamen jalanan semalam
Dengan gitar dan suara ala kadarnya.

Kusandarkan tubuh dan pikiranku.
Di kursi bus tua yang membawaku.
Melintasi kota Jakarta yang gaduh,
mengaduh atas segala kesah,
seakan sudah jenuh.
Tapi tubuhku sudah tahu
dan darahku tetap mengalir
menemani lagu rasa yang tersayang.

Kukatakan pada diriku:
John lo sedang berjuang
demi masa depanmu.

Jadi kulewati satu jam bersama mimpi.
Waktu berlalu dengan hebatnya.
Kuhadirkan kepastian masa depan.
Dengan semangat dan senyuman.

Perjalanan waktu berlalu,
Seiring dengan habisnya lagu.
Tersentak dari tidur lelapku.
Kuharus melangkahkan kakiku,
kalau tidak mau kebablasan.

Nampak dari kejauhan angkot yang menunggu.
Yang mengharapkan setiap penumpang tuk berlabuh.
Menuju rumah tujuan terakhir.

Kulangkahkan kaki masuk ke perjalanan.
Lalu menunggu teman-teman tuk datang.
Ingin rasanya langsung berjalan,
namun teman tak kunjung datang.

Di saat mulai resah,
Tiba rombongan penumpang.
Ibu-ibu, anak muda, kaum urban.
Yang masih tampak sisa kekuatan di raut wajahnya.

Mesin mulai dinyalakan,
Tarik bang!

Begitu roda melaju,
Seluruh badan serasa bergairah,
Ada kepastian yang menawarkan kemajuan.

Kucoba menenangkan kembali,
mata, pikiran, tenaga.
Seakan bermeditasi dalam gelap.

Tersentak lalu terbangun,
efek pengemudi yang begajulan.
Demi mengejar setoran,
Berhenti serampangan,
Mengundang klakson seseorang.

Kucoba kembali terlelap, dengan tetap waspada.
Kubawa santai saja, seperti waktu yang sudah-sudah.

Tiba-tiba sampai di tujuan akhir.
Nampak dari suasana yang tak asing.
Sambil bersiap mengeluarkan ongkos,
Tanda kembali balas budi.

600 meter lagi.
Kamu pasti bisa.
Ini ikhtiarku.
Untuk diriku, orang tuaku dan keluargaku kelak.

Bekasi,
15 Oktober 2016

View on Path

TL;DR

An Engineer, A Mathematician, A Physicist, An Economist, and A Computer Scientist walk into a bar. They have a nice table talk and ready to pay for the bill.

Engineer: Remember to tip 18%, everybody.

Mathematician: Is that 18% of the pre-tax total, or of the total with tax?

Physicist: You know, it’s simpler if we assume the system doesn’t have tax.

Computer Scientist: But it does have tax.

Physicist: Sure, but the numbers work out more cleanly if we don’t pay tax and tip. It’s a pretty small error term. Let’s not complicate things unnecessarily.

Engineer: What you call a “small error,” I call a “collapsed bridge.”

Economist: Forget it. Taxes are inefficient, anyway. They create deadweight loss.

Mathematician: There you go again…

Economist: I mean it! If there were no taxes, I would have ordered a second soda.

But instead, the government intervened, and by increasing transaction costs, prevented an exchange that would have benefited both me and the restaurant.

Engineer: You did order a second soda.

Economist: In practice, yes. But my argument still holds in theory.

The computer scientist lays a smart phone on the table.

Computer Scientist: Okay, I’ve coded a program to help us compute the check.

Mathematician: Hmmph. Any idiot could do that. It’s a trivial problem.

Computer Scientist: Do you even know how to code?

Mathematician: Why bother? Learning to code is also a trivial problem.

Engineer: Uh… your program says we each owe $8400.

Computer Scientist: Well, I haven’t de-bugged it yet, if that’s what you’re getting at.

Physicist: This is a waste of time. Let’s just split it evenly.

Economist: No! That’s so inefficient. Let’s each write down the amount we’re willing to put in, then auction off the remainder at some point on the contract curve.

Physicist: Huh?

Mathematician: Like most economics, that’s just gibberish with the word “auction” in it.

Engineer: Look, it’s simple. Total your items, add 8% tax, and 18% tip.

Mathematician: Sure. Does anybody know 12 plus 7?

Computer Scientist: You don’t?

Mathematician: What do I look like, a human calculator? Numbers are for children, half-wits, and bored cats.

The engineer looks at the cash they’ve gathered.

Engineer: Is everyone’s money in? It seems we’re a little short…

Physicist: How short?

Engineer: Well, the total was $104, not including tip… and so far we’ve got $31.07 and an old lottery ticket.

Physicist: Close enough, right? It’s a small error term.

Mathematician: Which of you idiots wasted your money on a lottery ticket?

Economist: I should mention that I’m not planning to eat here again. Are any of you?

Computer Scientist: What does that matter?

Economist: Well, in a non-iterated prisoner’s dilemma, the dominant strategy is to defect.

Engineer: Meaning?

Economist: We should be tipping 0%, since we’ll never see that waiter again.

Computer Scientist: That’s awful.

Physicist: Will the waiter really care – 0%, 20%? Let’s not split hairs. It’s a small error term.

The engineer looks up from a graphing calculator.

Engineer: All right. I’ve computed the precise amount each of us should pay, using double integrals and partial derivatives. I triple-checked my work.

Mathematician: Didn’t we all order the same thing? You could have just divided the total by five.

Engineer: I could? I mean… of course I could! Shut up! You think you’re so clever!

Economist: So, we’re all agreed on a 0% tip?

Computer Scientist: Well… the waiter did only bring two orders of fries for the table.

Physicist: We only ordered two.

Computer Scientist: Exactly. We got the 1st order, and the 2nd, but never the 0th.

Economist: I’ll be frank. At this point, my self-interest lies in not paying. And the economy prospers when we each pursue our individual self-interest. See you later!

The economist dashes off. The engineer and computer scientist glance at one another, then follow.

Mathematician: Looks like it’s just me and you, now.

Physicist: Good. The two-body problem will be easier to solve.

Mathematician: How?

Physicist: By reducing it to a one-body problem.

The physicist scampers away.

Mathematician: Wait! Come back here!

Waiter: I notice your friends have gone. Are you done with paying the check?

Mathematician: Well, I’ve got a proof that we can pay. But I warn you: it’s not constructive.

View on Path